Cerita Sepasang Sandal Tua
Oleh: Krismanto Atamou
Sudah termakan usia, sepasang sandal tua, masih tersimpan rapi. Ia terimpit di antara sepatu-sepatu yang tersusun di rak sepatu. Sandal tua sudah berdebu, beberapa serangga yaitu tawon pot bersarang di bagian tersembunyi.
“Hi, kenapa kau ditaruh di antara kami? Kau kan sandal, bukan sepatu?” ujar sepasang sepatu angkuh.
“Aku tak tahu teman. Tuanku sudah lama tak datang dan memakaiku. Entah dia ke mana?”
“Siapa yang membawamu ke sini?”
“Aku tak tahu teman. Orang itu wajahnya mirip tuanku, namun lebih muda usianya.”
“Kasihan sekali nasibmu sandal. Kau ditinggalkan. Kau sudah tidak dipakai lagi. Kau tidak berharga lagi. Kau lihat kami. Tiap hari kami dipakai, tiap seminggu kami dicuci. Kami dipakai ke tempat kerja sang Tuan. Di tempat kerja itu, ada banyak saudara kembar kami. Saat bertemu, kami saling bercerita tentang kondisi jalan yang kami lalui. Ada jalan berdasar semen, ada jalan beraspal, dan ada lantai ruangan kantor yang terbuat dari tegel atau keramik. Kami merasa terhormat berada di tempat-tempat itu.”
“Wah, hidupmu enak sekali, sepatu,” ujar sandal lirih.
“Ya, iyalah! Aku menduga, jalan hidupmu adalah di jalan berlumpur dan penuh debu. Iya kan?” olok sepatu.
“Ia, itu memang benar. Tuanku sering memakaiku menyusuri jalan setapak berdebu dan berlumpur. Itu sudah menjadi jadwal harianku. Aku hampir tak pernah lepas dari kakinya. Kadang kala, dasarku yang sudah licin karena termakan usia, membuatku tak mampu mencengkeram kuat permukaan tanah berlumpur yang licin. Akibatnya, aku terpeleset dan Tuanku jatuh ke dalam kubangan. Untunglah berkas penting yang dibawanya, telah dibungkusi plastik, walaupun jatuh di atas lumpur, isinya aman, tidak basah. Usia Tuanku yang tak lagi muda, membuatnya kesulitan melihat tempat pijakan yang tak berpotensi jatuh akibat licin.
“Para seniorku menceritakan, selagi muda, Tuanku orang yang energik. Ia merintis berdirinya sekolah dasar baru di kampung-kampung yang belum memiliki sekolah. Ia tak mau ada generasi usia sekolah yang tidak bersekolah. Ia berdebat dengan para pejabat yang berupaya menghalangi niat mulianya itu. Ia berupaya menghimpun dukungan dan bantuan dari masyarakat untuk mendirikan gedung sekolah darurat.
“Menjelang masa pensiun, ia kembali mengabdi sebagai kepala SD di kampungnya. Sambil mengemban jabatan itu, ia merintis pendirian SMP Negeri. Waktunya bersama keluarga nyaris tersita semua. Pagi, ia mengajar di SD, siang hingga sore mengajar di SMP. Sungguh sangat melelahkan. Ia berjuang hingga SMP itu diresmikan, berstatus negeri, memiliki lahan dan gedung permanen, serta memiliki kepala sekolah sendiri.
“Jika ada murid yang alpa, Tuanku akan mencari ke rumah, kebun, hingga ke pantai. Ia sudah hafal betul aktivitas keseharian anak muridnya. Jika tidak di rumah, berarti sedang di kebun atau mencari ikan di laut. Ia tak segan-segan mengejar anak murid yang alpa untuk dibawa ke sekolah.
“Sampai usia tuanya, Tuanku tetap fokus pada visi dan misi pendidikannya. Tidak hanya di sekolah, di masyarakat ia juga melawan segala bentuk penyakit masyarakat, seperti judi dan asusila. Oleh karena kiprahnya yang terlalu militan melawan kejahatan, sering kali ia ingin dibunuh oleh para penjahat itu. Akan tetapi, berkat penyertaan Tuhan Yang Maha Kuasa, ia selalu lolos dari maut.
“Oleh karena militansinya itu, ia dipercayakan menjadi kepala desa setelah memasuki masa pensiun. Selama menjabat sebagai kepala desa, ia banyak membantu warga masyarakat. Mulai dari membereskan data kependudukan, memfasilitasi pelaksanaan pernikahan masal bagi pasangan yang belum menikah, mendata objek pajak dan memfasilitasi pembayaran pajak. Bahkan, orang yang selama ini memusuhinya pun ia bantu. Tidak menunggu warga di kantor desa, Tuanku lebih memilih blusukan ke rumah-rumah warganya. Sambil minum kopi bersama, ia mendengarkan keluh-kesah warga dan membantu menjawab kebutuhan warga.
“Ia hampir dibunuh karena melawan praktik perjudian dan premanisme di kampungnya. Orang-orang dikampungnya lebih suka bermalas-malasan dan mengharapkan bantuan pemerintah.
“Di kampungnya, marak terjadi kasus pencurian hasil kebun. Saat musim menjual biji jambu mete, anehnya orang yang tidak memiliki kebun jambu mete juga menjual biji jambu mete seolah-olah mereka memiliki kebun jambu mete. Demikian pula dengan musim menjual buah fanili.
“Jika sudah memiliki uang, mereka berjudi sambil minum mabuk di pinggir jalan. Mereka merasa diri hebat jika dilihat orang yang melintas, apalagi jika orang yang melintas menyapa nama samaran mereka. Ada yang memakai nama samaran bocor karena bangga pernah memukul kepala orang hingga bocor. Ada yang memakai nama samaran bongkar karena berhasil membongkar rumah orang dan merampok hartanya, atau berhasil membongkar keperawanan anak perempuan orang. Demikianlah hingga nilai luhur tradisi nenek moyang dan kesantunan agama tak lagi menjadi kebanggaan.
“Praktik-praktik negatif inilah yang tuanku tentang. Ia membawa sebilah kayu dan pergi membubarkan kerumunan para penjahat yang nongkrong di pinggir jalan desa itu. Hal ini ia lakukan karena telah berulang kali ia menegur pelaku tapi tak dihiraukan. Ia memerintahkan hansip tapi hansip tak berani mengamankan pelaku, bahkan seorang pelaku adalah hansip juga.
“Tuanku berdialog dengan pihak terkait, termasuk para orang tua pelaku untuk mencari, menemukan, dan melaksanakan aksi solutif, namun hasil dialog itu seakan konsep belaka tanpa realisasi. Seakan ada pembiaran atau pemakluman terhadap aksi kejahatan pelaku, namun tidak dengan tuanku, ia sangat menentang kejahatan-kejahatan itu. Itulah alasan ia rela mengambil risiko ancaman keselamatan dengan menangani langsung para penjahat itu, termasuk ancaman disihir atau di-suanggi oleh musuhnya. Ia sadar, nyawanya jadi taruhan perlawanannya.
“Semasa aktif sebagai kepala desa itulah, ia jatuh sakit. Aku tahu ia sakit karena hampir setiap minggu, ia memakaiku pergi ke rumah sakit. Ada bau obat, darah, dahak dan nanah kucium saat melewati lantai ruangan rumah sakit.
“Meski berada di rumah sakit, ia tetap memikirkan kesejahteraan warga masyarakatnya. Suatu kali, aku mendengar ia menelepon pegawai kecamatan yang mengurus pembagian beras untuk rakyat miskin atau RASKIN.
“Selamat siang, Pak. Tolong bantuan RASKIN untuk desa saya jangan ditahan. Mohon disalurkan saja sesuai permintaan dan data yang saya berikan,” kata Tuanku.
“Tapi, Pak, untuk penyaluran bantuan kali lalu, belum ada laporannya hingga saat ini. Menurut kesepakatan kita sebelumnya, penyaluran berikut akan terealisasi jika sudah ada laporan penyaluran sebelumnya,” kata pegawai kecamatan.
“Ia, benar, Pak. Saya sudah perintahkan bawahan saya untuk mengerjakan laporan tersebut. Saya jamin laporannya akan disampaikan ke kecamatan. Suara saya ini jadi jaminannya,” kata Tuanku.
***
“Entah penyakit apa yang dideritanya? Aku merasakan beban dari tubuhnya semakin memberat setiap hari. Jika sudah terlalu berat, ia ke rumah sakit untuk mengeluarkan cairan yang tertimbun di perutnya dan membuat perutnya membesar. Setelah itu, aku merasakan beban dari tubuhnya ringan kembali seperti semula. Begitulah yang terjadi berulang kali, hingga orang muda yang mirip tuanku itu membungkusku dengan plastik hitam dan membawaku ke sini.”
“Di mana tuanmu sekarang?”
“Aku tak tahu di mana dia, yang jelas, aku rindu padanya. Rindu mendengar idealisme dan menyaksikan bagaimana ia menuntaskan misi-misi mulia tanpa pamrih. Firasatku mengatakan; orang muda yang mirip tuanku itu adalah anaknya. Anak yang sering ditinggalkan demi karier sehingga aku tak mengenal anaknya.