Tuesday, July 16, 2019

Cerita Sepasang Sandal Tua

Cerita Sepasang Sandal Tua
Oleh: Krismanto Atamou

Sudah termakan usia, sepasang sandal tua, masih tersimpan rapi. Ia terimpit di antara sepatu-sepatu yang tersusun di rak sepatu. Sandal tua sudah berdebu, beberapa serangga yaitu tawon pot bersarang di bagian tersembunyi.
“Hi, kenapa kau ditaruh di antara kami? Kau kan sandal, bukan sepatu?” ujar sepasang sepatu angkuh.
“Aku tak tahu teman. Tuanku sudah lama tak datang dan memakaiku. Entah dia ke mana?”
“Siapa yang membawamu ke sini?”
“Aku tak tahu teman. Orang itu wajahnya mirip tuanku, namun lebih muda usianya.”
“Kasihan sekali nasibmu sandal. Kau ditinggalkan. Kau sudah tidak dipakai lagi. Kau tidak berharga lagi. Kau lihat kami. Tiap hari kami dipakai, tiap seminggu kami dicuci. Kami dipakai ke tempat kerja sang Tuan. Di tempat kerja itu, ada banyak saudara kembar kami. Saat bertemu, kami saling bercerita tentang kondisi jalan yang kami lalui. Ada jalan berdasar semen, ada jalan beraspal, dan ada lantai ruangan kantor yang terbuat dari tegel atau keramik. Kami merasa terhormat berada di tempat-tempat itu.”
“Wah, hidupmu enak sekali, sepatu,” ujar sandal lirih.
“Ya, iyalah! Aku menduga, jalan hidupmu adalah di jalan berlumpur dan penuh debu. Iya kan?” olok sepatu.
“Ia, itu memang benar. Tuanku sering memakaiku menyusuri jalan setapak berdebu dan berlumpur. Itu sudah menjadi jadwal harianku. Aku hampir tak pernah lepas dari kakinya. Kadang kala, dasarku yang sudah licin karena termakan usia, membuatku tak mampu mencengkeram kuat permukaan tanah berlumpur yang licin. Akibatnya, aku terpeleset dan Tuanku jatuh ke dalam kubangan. Untunglah berkas penting yang dibawanya, telah dibungkusi plastik, walaupun jatuh di atas lumpur, isinya aman, tidak basah. Usia Tuanku yang tak lagi muda, membuatnya kesulitan melihat tempat pijakan yang tak berpotensi jatuh akibat licin.
“Para seniorku menceritakan, selagi muda, Tuanku orang yang energik. Ia merintis berdirinya sekolah dasar baru di kampung-kampung yang belum memiliki sekolah. Ia tak mau ada generasi usia sekolah yang tidak bersekolah. Ia berdebat dengan para pejabat yang berupaya menghalangi niat mulianya itu. Ia berupaya menghimpun dukungan dan bantuan dari masyarakat untuk mendirikan gedung sekolah darurat.
“Menjelang masa pensiun, ia kembali mengabdi sebagai kepala SD di kampungnya. Sambil mengemban jabatan itu, ia merintis pendirian SMP Negeri. Waktunya bersama keluarga nyaris tersita semua. Pagi, ia mengajar di SD, siang hingga sore mengajar di SMP. Sungguh sangat melelahkan. Ia berjuang hingga SMP itu diresmikan, berstatus negeri, memiliki lahan dan gedung permanen, serta memiliki kepala sekolah sendiri.
“Jika ada murid yang alpa, Tuanku akan mencari ke rumah, kebun, hingga ke pantai. Ia sudah hafal betul aktivitas keseharian anak muridnya. Jika tidak di rumah, berarti sedang di kebun atau mencari ikan di laut. Ia tak segan-segan mengejar anak murid yang alpa untuk dibawa ke sekolah.
“Sampai usia tuanya, Tuanku tetap fokus pada visi dan misi pendidikannya. Tidak hanya di sekolah, di masyarakat ia juga melawan segala bentuk penyakit masyarakat, seperti judi dan asusila. Oleh karena kiprahnya yang terlalu militan melawan kejahatan, sering kali ia ingin dibunuh oleh para penjahat itu. Akan tetapi, berkat penyertaan Tuhan Yang Maha Kuasa, ia selalu lolos dari maut.
“Oleh karena militansinya itu, ia dipercayakan menjadi kepala desa setelah memasuki masa pensiun. Selama menjabat sebagai kepala desa, ia banyak membantu warga masyarakat. Mulai dari membereskan data kependudukan, memfasilitasi pelaksanaan pernikahan masal bagi pasangan yang belum menikah, mendata objek pajak dan memfasilitasi pembayaran pajak. Bahkan, orang yang selama ini memusuhinya pun ia bantu. Tidak menunggu warga di kantor desa, Tuanku lebih memilih blusukan ke rumah-rumah warganya. Sambil minum kopi bersama, ia mendengarkan keluh-kesah warga dan membantu menjawab kebutuhan warga.
“Ia hampir dibunuh karena melawan praktik perjudian dan premanisme di kampungnya. Orang-orang dikampungnya lebih suka bermalas-malasan dan mengharapkan bantuan pemerintah.
“Di kampungnya, marak terjadi kasus pencurian hasil kebun. Saat musim menjual biji jambu mete, anehnya orang yang tidak memiliki kebun jambu mete juga menjual biji jambu mete seolah-olah mereka memiliki kebun jambu mete. Demikian pula dengan musim menjual buah fanili.
“Jika sudah memiliki uang, mereka berjudi sambil minum mabuk di pinggir jalan. Mereka merasa diri hebat jika dilihat orang yang melintas, apalagi jika orang yang melintas menyapa nama samaran mereka. Ada yang memakai nama samaran bocor karena bangga pernah memukul kepala orang hingga bocor. Ada yang memakai nama samaran bongkar karena berhasil membongkar rumah orang dan merampok hartanya, atau berhasil membongkar keperawanan anak perempuan orang. Demikianlah hingga nilai luhur tradisi nenek moyang dan kesantunan agama tak lagi menjadi kebanggaan.
“Praktik-praktik negatif inilah yang tuanku tentang. Ia membawa sebilah kayu dan pergi membubarkan kerumunan para penjahat yang nongkrong di pinggir jalan desa itu. Hal ini ia lakukan karena telah berulang kali ia menegur pelaku tapi tak dihiraukan. Ia memerintahkan hansip tapi hansip tak berani mengamankan pelaku, bahkan seorang pelaku adalah hansip juga.
“Tuanku berdialog dengan pihak terkait, termasuk para orang tua pelaku untuk mencari, menemukan, dan melaksanakan aksi solutif, namun hasil dialog itu seakan konsep belaka tanpa realisasi. Seakan ada pembiaran atau pemakluman terhadap aksi kejahatan pelaku, namun tidak dengan tuanku, ia sangat menentang kejahatan-kejahatan itu. Itulah alasan ia rela mengambil risiko ancaman keselamatan dengan menangani langsung para penjahat itu, termasuk ancaman disihir atau di-suanggi oleh musuhnya. Ia sadar, nyawanya jadi taruhan perlawanannya.
“Semasa aktif sebagai kepala desa itulah, ia jatuh sakit. Aku tahu ia sakit karena hampir setiap minggu, ia memakaiku pergi ke rumah sakit. Ada bau obat, darah, dahak dan nanah kucium saat melewati lantai ruangan rumah sakit.
“Meski berada di rumah sakit, ia tetap memikirkan kesejahteraan warga masyarakatnya. Suatu kali, aku mendengar ia menelepon pegawai kecamatan yang mengurus pembagian beras untuk rakyat miskin atau RASKIN.
“Selamat siang, Pak. Tolong bantuan RASKIN untuk desa saya jangan ditahan. Mohon disalurkan saja sesuai permintaan dan data yang saya berikan,” kata Tuanku.
“Tapi, Pak, untuk penyaluran bantuan kali lalu, belum ada laporannya hingga saat ini. Menurut kesepakatan kita sebelumnya, penyaluran berikut akan terealisasi jika sudah ada laporan penyaluran sebelumnya,” kata pegawai kecamatan.
“Ia, benar, Pak. Saya sudah perintahkan bawahan saya untuk mengerjakan laporan tersebut. Saya jamin laporannya akan disampaikan ke kecamatan. Suara saya ini jadi jaminannya,” kata Tuanku.
***
“Entah penyakit apa yang dideritanya? Aku merasakan beban dari tubuhnya semakin memberat setiap hari. Jika sudah terlalu berat, ia ke rumah sakit untuk mengeluarkan cairan yang tertimbun di perutnya dan membuat perutnya membesar. Setelah itu, aku merasakan beban dari tubuhnya ringan kembali seperti semula. Begitulah yang terjadi berulang kali, hingga orang muda yang mirip tuanku itu membungkusku dengan plastik hitam dan membawaku ke sini.”
“Di mana tuanmu sekarang?”
“Aku tak tahu di mana dia, yang jelas, aku rindu padanya. Rindu mendengar idealisme dan menyaksikan bagaimana ia menuntaskan misi-misi mulia tanpa pamrih. Firasatku mengatakan; orang muda yang mirip tuanku itu adalah anaknya. Anak yang sering ditinggalkan demi karier sehingga aku tak mengenal anaknya.

Friday, May 3, 2019

Event Mnahat Fe’u Haritage Trail di Desa Taiftob-Kab. TTS Provinsi NTT

Event Mnahat Fe’u Haritage Trail di Desa Taiftob-Kab. TTS NTT
Oleh : Krismanto Atamou

Pada bulan Maret 2019 lalu, sebuah flyer lewat di klonologi akun Instagram saya, sangat menarik. Event Mnahat Fe'u Haritage Trail di Desa Taiftob, Kec. Mollo Utara, Kab. Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Flyer Mnahat Fe'u Haritage Trail 1 Mai 2019.

 Saat melihatnya pertama kali saya langsung tertarik. Bukan karena desain grafisnya yang menarik, sebab saya bukan orang yang mudah tertarik dengan iklan.
Jarang ada event lokal yang dipublish lewat internet nongol di kronologi akun instagram saya, kebanyakan adalah event-event nasional. Akan tetapi iklan yang satu ini sangat berbeda. Ia menampilkan budaya atau kearifan lokal yang disatukan dengan kegiatan tracking.
Sayangnya pada event yang pertama bulan Maret lalu, jadwal Mnahat Fe'u bertepatan dengan kegiatan saya di Sekolah Anti Korupsi bersama ICW (Indonesia corruption watch) di Jakarta. Alhasil, saya menunda hingga event Mnahat Fe'u tanggal 1 Mei 2019 ini.
Flyer event Mnahat Fe'u kembali muncul di kronologi instagram saya saat menunggu giliran mencoblos di TPS pada 17 April 2019 lalu. Saya langsung menghubungi CS-nya yaitu Om Dicky Senda di nomor WA 081338037075 untuk mendaftar diri. Om Dicky Senda adalah Co-Founder Komunitas Lakoat.Kujawas. Untuk mendapat info lanjutan, saya membuka link ke blog komunitas lakoat.kujawas yaitu lakoatkujawas.blogspot.com
Pada event yang pertama sebagai pilot project komunitas lakoat kujawas hanya menerima 10 peserta. Event yang kedua ini mereka membuka lowongan peserta hingga 17 orang. Sejauh ini peserta didominasi wisatawan lokal dari sekitaran provinsi NTT. Meskipun ada peserta memiliki latar belakang budaya yang sama atau paling tidak mirip dengan budaya Desa Taiftob, akan tetapi mereka tetap tertarik dan merasa menemukan hal baru di event Mnahat Fe'u ini. Salah satu alasannya mungkin karena olahan makanan kreatif dan berbagai pengetahuan budaya yang ditampilkan sudah menjadi hal yang langka tergerus modernisasi dan budinisasi (mengenai budinisasi akan saya ulas dalam tulisan lainnya).
Mnahat Fe'u merupakan istilah bahasa lokal Desa Taiftob untuk menyebut situasi pascapanen saat mereka menikmati makanan yang baru dipanen. Hal yang luar biasa ialah bahan makanan yang baru dipanen tersebut tidak hanya dimakan begitu saja tapi ada juga yang diolah menjadi makanan olahan yang kreatif.
Beberapa contoh makanan olahan yaitu; Lauktobe, Kripik labu kuning, Sambal biji labu+ bunga Turi, Kombucha jahe jeruk sereh, marmalade, labu kukus madu, mojito lakoat, wine kujawas, liquor, bolu mokaf, abon sapi, selei kulit jeruk, manisan kulit lakoat, sayur cendawan payung, gorengan kacang nasi, madu lokal, tepung jahe, kopi lokal, dan masih banyak lagi. Semua makanan ini disajikan dalam rangkaian acara yang berlangsung sehari.
Acara dimulai tetap jam sembilan pagi. Sambil menunggu acara pembukaan kita disajikan snak pagi. Saya sendiri tiba di lokasi-sesuai petunjuk GPS-jam 08.30. Saat tiba, sudah ada beberapa peserta yang menginap di Desa Taiftob. Untuk menginap semalam, tiap peserta dikenakan biaya Rp.50.000,-. Biaya itu untuk sharing tempat tidur dan makan malam di rumah warga lokal.
Saya berkenalan dengan peserta tersebut kemudian menikmati snak pagi. Saya memilih menikmati air hangat yang dicampur madu hutan, bolu mokaf, labu kuning rebus, nasi dari beras lokal yang baru dipanen dan telur goreng.
Tak lama kemudian banyak peserta berdatangan. Setelah mereka menikmati snak pagi, acara pembukaan dilaksanakan. Om Dicky menjelaskan trayek yang akan dilalui beserta tujuannya.
Setelah doa pembukaan, kami langsung tracking sesuai rute yang ditentukan. Anggota kelas menulis remaja yang dibina oleh Om Dicky Senda turut mengikuti perjalanan sambil membawa buku antologi puisi mereka yang baru saja diterbitkan bulan April 2019 yang berjudul TUBUHKU BATU, RUMAHKU BULAN.



 Buku antologi puisi ini ditulis oleh dua puluhan anak yang mengikuti kelas menulis remaja. Isinya berupa refleksi ekologi dan kecintaan terhadap alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Di tiap titik tertentu Om Willy Oematan yang menjadi tour leader menjelaskan beberapa tumbuhan berkhasiat obat, tumbuhan yang memiliki nilai budaya, dan sejarah tempat tertentu. Sejarah tersebut misalnya tentang mata air Desa Taiftob dan bukit batu Napi. Sesekali Om Dicky meminta Om Willy untuk menjelaskan hal-hal unik yang ditemui sepanjang perjalanan. Salah satunya yaitu tanda larangan untuk mengambil hasil buah jeruk. Tanda larangan tersebut berupa sabut kelapa yang diikat dengan talidari sobekan seludang pinangpada ranting pohon jeruk.

Bersama Om Willy Oematan sebagai Tour Leader.

 Di tiga titik perhentian yaitu di mata air, di lubang bebatuan yang menjadi rumah walet, dan di puncak batu Napi, anggota komunitas menulis remaja secara bergantian membaca puisinya. Pembacaan puisi ditutup dengan musikalisasi puisi berjudul BATU yang diciptakan oleh seorang remaja lelaki.


 Foto di atas Batu Napi dengan latar gedung gereja di bawahnya.

Setelah dari batu Napi, kami menuju titik tracking terakhir yaitu Gua Maria. Dari situ kami langsung kembali ke titik start/ meeting point yaitu rumah tua keluarga Oematan (Rumah Bapak AFK Oematan) yang tepat berada di depan Gedung Gereja Katolik Paroki St. Maria Imaculata Kapan. Mengenai Bapak AFK Oematan pernah disinggung Om Dicky Senda dalam buku kumpulan cerpennya KANUKU LEON yang diterbitkan oleh Grasindo.
Setelah rehat sejenak, kami menikmati makan siang dengan menu tradisional. Bahkan penyajiannya pun menggunakan perabot tradisional. Nasi beras merah lokal ditaruh dalam nyiru yang dialasi dengan daun pisang, jagung bose dan sup ayam di dalam periuk tanah, piring dan sendok serta garpu dari bahan tempurung kelapa. Beberapa sayuran dan sambal juga ditaruh dalam wadah tempurung kelapa.



Makanan Tradisional yang dihidangkan.

“Teman-teman tolong sisakan 'tempat tampungan' untuk bisa menikmati makanan  tambahan setelah makanan utama ini,” ujar Om Dicky Senda. Memang setelah tracking yang menguras tenaga dan disajikan makanan sehat dan segar tentu siapa pun akan tergoda untuk melahap makanan sepuasnya, apalagi kami dipersilahkan untuk menambah. Catatan saya, sambal luat cepat sekali habis, saking enaknya.
Setelah menikmati makanan utama, selanjutnya Om Dicky mempresentasikan makanan dan minuman penutup sebelum kami cicipi. Ada liquor, marmalade, es krim Lakoat, manisan Lakoat, selai kulit jeruk yang dinikmati dengan roti, dan lain-lain. Untuk minuman ditaruh dalam sloki kemudian bisa diberi tambahan berupa daun mint, daun kemangi, bunga kemangi, jeruk nipis, dan lain-lain. Beberapa peserta bertanya tentang proses pembuatan makanan dan minuman tersebut, Om Dicky menjelaskan dengan baik.



Om Dicky sedang mempresentasikan aneka makanan dan minuman tambahan.

Setelah itu, kami melihat penampilan mama-mama tua yang menumbuk padi dan dengan nyiru serta gerakan uniknya mampu memisahkan biji padi yang sudah bersih (tanpa kulit biji) dengan yang tidak. Gerakan itu menghasilkan irama yang khas, apalagi jika dilakukan beramai-ramai. Kata salah satu mama tuayang bertugas sebagai juru bicarabahwa pada zaman nenek moyang dahulu, saat mengerjakan ladang hingga menumbuk dan menampi padi, tidak boleh berbicara dan melalukan hal lain. Harus fokus bekerja. Semua pekerjaan dilakukan secara manual tanpa mesin.
“Wah, ternyata kehadiran mesin-mesin pertanian juga adalah salah satu faktor yang membunuh eksistensi kearifan lokal,” ujar salah satu peserta.
Setelah menumbuk dan menampi padi, dilanjutkan dengan menumbuk gaplek (irisan singkong yang dikeringkan). Hasilnya dipakai untuk membuat menu terakhir yaitu Laku Tobe. Laku Tobe akan dinikmati dengan minuman panas atau hangat, seperti teh dan kopi jahe. Aku memilih menikmatinya menggunakan air hangat yang dicampur madu hutan. Delicious.
Setelah menikmati hidangan terakhir, dilanjutkan dengan acara penutup. Om Dicky menyampaikan ucapan terima kasih dan ajakan untuk mengikuti event yang sama di kesempatan yang akan datang. Katanya akan ada sajian menu baru di event selanjutnya.

 Foto bersama Om Dicky Senda di Depan Rumah Tua Keluarga Oematan. Saya menyumbangkan sebuah buku antologi puisi saya kepada perpustakaan kelas menulis remaja yang dirintis Om Dicky.

Saat akan pulang, kami foto bersama dan diberikan oleh-oleh dari komunitas Lakoat.Kujawas. Oleh-oleh yang kami dapat lumayan banyak. Ada jeruk, kopi bubuk lokal dalam kemasan, bubuk jahe lokal dalam kemasan, sambal luat, dan bibit Lakoat.
***
Selain menampilkan olahan makanan kreatif dengan kearifan lokal, event ini juga mengajak kita untuk menggali cerita dibalik peristiwa yang melatarbelakangi keadaan sosial, budaya, dan ekologi di desa Taiftob dari zaman dahulu hingga sekarang.
Untuk mencapai lokasi kegiatan dari kota Kupang dibutuhkan waktu sekitar tiga jam perjalanan darat. Sekali lagi, lokasi Event Mnahat Fe’u Haritage Trail dapat dilacak dengan google map dengan mengetikkan pada kolom pencarian komunitas lakoat.kujawas. 
Ayo teman-teman ikuti Event Mnahat Fe’u Haritage Trail berikutnya! Event ini sangat menarik dan menginspirasi. Salam #Wonderfull_Indonesia!