Friday, May 3, 2019

Event Mnahat Fe’u Haritage Trail di Desa Taiftob-Kab. TTS Provinsi NTT

Event Mnahat Fe’u Haritage Trail di Desa Taiftob-Kab. TTS NTT
Oleh : Krismanto Atamou

Pada bulan Maret 2019 lalu, sebuah flyer lewat di klonologi akun Instagram saya, sangat menarik. Event Mnahat Fe'u Haritage Trail di Desa Taiftob, Kec. Mollo Utara, Kab. Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Flyer Mnahat Fe'u Haritage Trail 1 Mai 2019.

 Saat melihatnya pertama kali saya langsung tertarik. Bukan karena desain grafisnya yang menarik, sebab saya bukan orang yang mudah tertarik dengan iklan.
Jarang ada event lokal yang dipublish lewat internet nongol di kronologi akun instagram saya, kebanyakan adalah event-event nasional. Akan tetapi iklan yang satu ini sangat berbeda. Ia menampilkan budaya atau kearifan lokal yang disatukan dengan kegiatan tracking.
Sayangnya pada event yang pertama bulan Maret lalu, jadwal Mnahat Fe'u bertepatan dengan kegiatan saya di Sekolah Anti Korupsi bersama ICW (Indonesia corruption watch) di Jakarta. Alhasil, saya menunda hingga event Mnahat Fe'u tanggal 1 Mei 2019 ini.
Flyer event Mnahat Fe'u kembali muncul di kronologi instagram saya saat menunggu giliran mencoblos di TPS pada 17 April 2019 lalu. Saya langsung menghubungi CS-nya yaitu Om Dicky Senda di nomor WA 081338037075 untuk mendaftar diri. Om Dicky Senda adalah Co-Founder Komunitas Lakoat.Kujawas. Untuk mendapat info lanjutan, saya membuka link ke blog komunitas lakoat.kujawas yaitu lakoatkujawas.blogspot.com
Pada event yang pertama sebagai pilot project komunitas lakoat kujawas hanya menerima 10 peserta. Event yang kedua ini mereka membuka lowongan peserta hingga 17 orang. Sejauh ini peserta didominasi wisatawan lokal dari sekitaran provinsi NTT. Meskipun ada peserta memiliki latar belakang budaya yang sama atau paling tidak mirip dengan budaya Desa Taiftob, akan tetapi mereka tetap tertarik dan merasa menemukan hal baru di event Mnahat Fe'u ini. Salah satu alasannya mungkin karena olahan makanan kreatif dan berbagai pengetahuan budaya yang ditampilkan sudah menjadi hal yang langka tergerus modernisasi dan budinisasi (mengenai budinisasi akan saya ulas dalam tulisan lainnya).
Mnahat Fe'u merupakan istilah bahasa lokal Desa Taiftob untuk menyebut situasi pascapanen saat mereka menikmati makanan yang baru dipanen. Hal yang luar biasa ialah bahan makanan yang baru dipanen tersebut tidak hanya dimakan begitu saja tapi ada juga yang diolah menjadi makanan olahan yang kreatif.
Beberapa contoh makanan olahan yaitu; Lauktobe, Kripik labu kuning, Sambal biji labu+ bunga Turi, Kombucha jahe jeruk sereh, marmalade, labu kukus madu, mojito lakoat, wine kujawas, liquor, bolu mokaf, abon sapi, selei kulit jeruk, manisan kulit lakoat, sayur cendawan payung, gorengan kacang nasi, madu lokal, tepung jahe, kopi lokal, dan masih banyak lagi. Semua makanan ini disajikan dalam rangkaian acara yang berlangsung sehari.
Acara dimulai tetap jam sembilan pagi. Sambil menunggu acara pembukaan kita disajikan snak pagi. Saya sendiri tiba di lokasi-sesuai petunjuk GPS-jam 08.30. Saat tiba, sudah ada beberapa peserta yang menginap di Desa Taiftob. Untuk menginap semalam, tiap peserta dikenakan biaya Rp.50.000,-. Biaya itu untuk sharing tempat tidur dan makan malam di rumah warga lokal.
Saya berkenalan dengan peserta tersebut kemudian menikmati snak pagi. Saya memilih menikmati air hangat yang dicampur madu hutan, bolu mokaf, labu kuning rebus, nasi dari beras lokal yang baru dipanen dan telur goreng.
Tak lama kemudian banyak peserta berdatangan. Setelah mereka menikmati snak pagi, acara pembukaan dilaksanakan. Om Dicky menjelaskan trayek yang akan dilalui beserta tujuannya.
Setelah doa pembukaan, kami langsung tracking sesuai rute yang ditentukan. Anggota kelas menulis remaja yang dibina oleh Om Dicky Senda turut mengikuti perjalanan sambil membawa buku antologi puisi mereka yang baru saja diterbitkan bulan April 2019 yang berjudul TUBUHKU BATU, RUMAHKU BULAN.



 Buku antologi puisi ini ditulis oleh dua puluhan anak yang mengikuti kelas menulis remaja. Isinya berupa refleksi ekologi dan kecintaan terhadap alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Di tiap titik tertentu Om Willy Oematan yang menjadi tour leader menjelaskan beberapa tumbuhan berkhasiat obat, tumbuhan yang memiliki nilai budaya, dan sejarah tempat tertentu. Sejarah tersebut misalnya tentang mata air Desa Taiftob dan bukit batu Napi. Sesekali Om Dicky meminta Om Willy untuk menjelaskan hal-hal unik yang ditemui sepanjang perjalanan. Salah satunya yaitu tanda larangan untuk mengambil hasil buah jeruk. Tanda larangan tersebut berupa sabut kelapa yang diikat dengan talidari sobekan seludang pinangpada ranting pohon jeruk.

Bersama Om Willy Oematan sebagai Tour Leader.

 Di tiga titik perhentian yaitu di mata air, di lubang bebatuan yang menjadi rumah walet, dan di puncak batu Napi, anggota komunitas menulis remaja secara bergantian membaca puisinya. Pembacaan puisi ditutup dengan musikalisasi puisi berjudul BATU yang diciptakan oleh seorang remaja lelaki.


 Foto di atas Batu Napi dengan latar gedung gereja di bawahnya.

Setelah dari batu Napi, kami menuju titik tracking terakhir yaitu Gua Maria. Dari situ kami langsung kembali ke titik start/ meeting point yaitu rumah tua keluarga Oematan (Rumah Bapak AFK Oematan) yang tepat berada di depan Gedung Gereja Katolik Paroki St. Maria Imaculata Kapan. Mengenai Bapak AFK Oematan pernah disinggung Om Dicky Senda dalam buku kumpulan cerpennya KANUKU LEON yang diterbitkan oleh Grasindo.
Setelah rehat sejenak, kami menikmati makan siang dengan menu tradisional. Bahkan penyajiannya pun menggunakan perabot tradisional. Nasi beras merah lokal ditaruh dalam nyiru yang dialasi dengan daun pisang, jagung bose dan sup ayam di dalam periuk tanah, piring dan sendok serta garpu dari bahan tempurung kelapa. Beberapa sayuran dan sambal juga ditaruh dalam wadah tempurung kelapa.



Makanan Tradisional yang dihidangkan.

“Teman-teman tolong sisakan 'tempat tampungan' untuk bisa menikmati makanan  tambahan setelah makanan utama ini,” ujar Om Dicky Senda. Memang setelah tracking yang menguras tenaga dan disajikan makanan sehat dan segar tentu siapa pun akan tergoda untuk melahap makanan sepuasnya, apalagi kami dipersilahkan untuk menambah. Catatan saya, sambal luat cepat sekali habis, saking enaknya.
Setelah menikmati makanan utama, selanjutnya Om Dicky mempresentasikan makanan dan minuman penutup sebelum kami cicipi. Ada liquor, marmalade, es krim Lakoat, manisan Lakoat, selai kulit jeruk yang dinikmati dengan roti, dan lain-lain. Untuk minuman ditaruh dalam sloki kemudian bisa diberi tambahan berupa daun mint, daun kemangi, bunga kemangi, jeruk nipis, dan lain-lain. Beberapa peserta bertanya tentang proses pembuatan makanan dan minuman tersebut, Om Dicky menjelaskan dengan baik.



Om Dicky sedang mempresentasikan aneka makanan dan minuman tambahan.

Setelah itu, kami melihat penampilan mama-mama tua yang menumbuk padi dan dengan nyiru serta gerakan uniknya mampu memisahkan biji padi yang sudah bersih (tanpa kulit biji) dengan yang tidak. Gerakan itu menghasilkan irama yang khas, apalagi jika dilakukan beramai-ramai. Kata salah satu mama tuayang bertugas sebagai juru bicarabahwa pada zaman nenek moyang dahulu, saat mengerjakan ladang hingga menumbuk dan menampi padi, tidak boleh berbicara dan melalukan hal lain. Harus fokus bekerja. Semua pekerjaan dilakukan secara manual tanpa mesin.
“Wah, ternyata kehadiran mesin-mesin pertanian juga adalah salah satu faktor yang membunuh eksistensi kearifan lokal,” ujar salah satu peserta.
Setelah menumbuk dan menampi padi, dilanjutkan dengan menumbuk gaplek (irisan singkong yang dikeringkan). Hasilnya dipakai untuk membuat menu terakhir yaitu Laku Tobe. Laku Tobe akan dinikmati dengan minuman panas atau hangat, seperti teh dan kopi jahe. Aku memilih menikmatinya menggunakan air hangat yang dicampur madu hutan. Delicious.
Setelah menikmati hidangan terakhir, dilanjutkan dengan acara penutup. Om Dicky menyampaikan ucapan terima kasih dan ajakan untuk mengikuti event yang sama di kesempatan yang akan datang. Katanya akan ada sajian menu baru di event selanjutnya.

 Foto bersama Om Dicky Senda di Depan Rumah Tua Keluarga Oematan. Saya menyumbangkan sebuah buku antologi puisi saya kepada perpustakaan kelas menulis remaja yang dirintis Om Dicky.

Saat akan pulang, kami foto bersama dan diberikan oleh-oleh dari komunitas Lakoat.Kujawas. Oleh-oleh yang kami dapat lumayan banyak. Ada jeruk, kopi bubuk lokal dalam kemasan, bubuk jahe lokal dalam kemasan, sambal luat, dan bibit Lakoat.
***
Selain menampilkan olahan makanan kreatif dengan kearifan lokal, event ini juga mengajak kita untuk menggali cerita dibalik peristiwa yang melatarbelakangi keadaan sosial, budaya, dan ekologi di desa Taiftob dari zaman dahulu hingga sekarang.
Untuk mencapai lokasi kegiatan dari kota Kupang dibutuhkan waktu sekitar tiga jam perjalanan darat. Sekali lagi, lokasi Event Mnahat Fe’u Haritage Trail dapat dilacak dengan google map dengan mengetikkan pada kolom pencarian komunitas lakoat.kujawas. 
Ayo teman-teman ikuti Event Mnahat Fe’u Haritage Trail berikutnya! Event ini sangat menarik dan menginspirasi. Salam #Wonderfull_Indonesia!